Ada efek buruk dari Pertambangan pasir besi
Dampak Pertambangan Pasir Besi
Beberapa dampak negatif akibat pertambangan jika tidak terkendali antara lain sebagai berikut:
1). Kerusakan lahan bekas tambang.
2). Merusak lahan perkebunan dan pertanian.
3). Membuka kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan.
4). Dalam jangka panjang, pertambangan adalah penyumbang terbesar lahan
sangat kritis yang susah dikembalikan lagi sesuai fungsi awalnya.
5). Pencemaran baik tanah, air maupun udara. Misalnya debu, gas beracun, bunyi dll.
6). Kerusakan tambak dan terumbu karang di pesisir.
7). Banjir, longsor, lenyapnya sebagian keanekaragaman hayati.
. Air tambang asam yang beracun yang jika dialirkan ke sungai yang
akhirnya ke laut akan merusak ekosistem dan sumber daya pesisir dan
laut.
9). Menyebabkan berbagai penyakit dan mengganggu kesehatan.
10). Sarana dan prasarana seperti jalan dll. rusak berat.
11). Dan lain-lain.
Mengapa bisa terjadi? Karena:
1). Adanya perbedaan kepentingan antara kepentingan lingkungan vs kepentingan ekonomi, politik dll.
2). Penegakkan hokum yang belum baik.
3). Aturan yang dibuat seringkali mengakomodasi beberapa kepentingan dengan bahkan mengabaikan unsur lingkungan.
4). Aturan yang tidak dilaksanakan dengan konsisten.
5). Dalam prakteknya otonomi daerah menyebabkan pertambangan maju pesat
dan nyaris tidak terkendali. Banyak kasus di beberapa daerah justru
terjadi konversi hutan lindung menjadi kawasan produksi. Illegal logging
justru dilakukan oleh oknum-oknum yang seharusnya melindungi hutan.
Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kaur Nomor. 245 Tahun 2008 tanggal
15 September 2008, PT. Selomoro Banyu Arto memperoleh Kuasa Pertambangan
eksplorasi pasir besi di Kecamatan Maje dengan kode wilayah KW. 08 PKR
004 dengan luas kuasa wilayah pertambangan eksplorasi pasir besi 179,36
Hektar.
Dampak penambangan pasir besi di Kecamatan Maje Kabupaten Kaur (Anonim 2011):
1. Menurunnya kualitas udara
Pada tahap prakonstruksi tambang akibat kegiatan mobilisasi alat berat
diperkirakan perusahaan akan mengoperasikan 44 unit alat berat. Pada
tahap ini aktifitas yang dilakukan meliputi pembersihan lahan, pembuatan
jalan tambang , pembangunan sarana tambang, pembangunan pengelolaan
instalasi pasir besi, dipastikan akan meningkatkan kadar debu di
lingkungan sekitar. Intensitas ini dipastikan akan bertambah pada tahap
operasi tambang akibat pengupasan tanah pucuk . perusahaan memasang
target akan mengelola dan mengangkut 1500 s/d 2000 ton per hari dengan
volume angkut 75 s/d 100 rit per hari. hal ini tentu akan meningkatkan
sebaran debu di sekitar tambang dan akan mencapai ke pemukiman penduduk
Desa Sukamenanti, Way Hawang dan Linau akibat angkutan pasir besi.
Lamanya dampak debu ini diperkirakan oleh perusahaan selama 15 s/d 18
tahun (selama tambang masih aktif beroperasi) tingkat polusi debu akan
semakin tinggi pada saat siang hari dimana angin bertiup dari laut ke
arah daratan (pemukiman warga, Desa Sukamenanti dan Way Hawang) Hal ini
tentu saja akan menurunkan tingkat kesehatan masyarakat, mereka terancam
penyakit ISPA (Infeksi saluran Pernafasan Akut) TBC, dan lain-lain.
2. Kebisingan
Kegiatan tambang pasir besi pada tahap prakonstruksi berupa mobilisasi
alat-alat berat berjumlah 44 unit. Dipastikan ini akan meningkatkan
kebisingan di areal tambang dan pemukiman masyarakat di jalan Way Hawang
Sukamenanti. Tingkat kebisingan akan semakin bertambah ketika
operasional pertambangan mulai berjalan normal. Lama kebisingan
berlangsung sebanyak 150 s/d 200 kali setiap hari sesuai volume yang
direncanakan perusahaan sebanyak 1500 s/d 2000 ton per hari. Dengan
volume angkut 75 s/d 100 rit per hari. Kondisi ini tentu akan
mempengaruhi ketenangan warga pada saat tidur.
3. Perubahan Bentuk Danau Kembar
Sebagian wilayah penambangan merupakan perairan Sungai Air Numan (Danau
Kembar) kondisi awal seluas 16,02 hektar dan daratan seluas 163,34
hektar. Kegiatan penggalian tentu saja akan memperluas bentuk dan
struktur danau, diperkirakan akan meluas sebesar 28 hektar. Begitu juga
dengan kedalaman, saat ini kedalaman danau berkisar 0,2 meter s/d 0,8
meter. Dengan adanya penggalian pasir besi dapat dipastikan kedalaman
danau akan menjadi 7 hingga 8 meter. Hal ini sangat membahayakan warga,
dan debit air akan mengalami perubahan struktur, ancaman terhadap
kekeringan dan banjir yang mendadak akibat iklim yang tidak menentu,
merupakan ancaman utama bagi warga.
4. Abrasi Pantai
Harus diakui aktifitas pertambangan juga akan mempengaruhi struktur
pantai Way Hawang, ancaman akan meningkat khususnya pada saat air laut
pasang dan gelombang besar serta tinggi akan membuat bentuk pantai
berubah. Kondisi ini diakui oleh perusahaan sulit dipulihkan karena
membutuhkan biaya besar. Masyarakat yang terkena dampak langsung adalah
Desa Sukamenanti dan Desa Way Hawang. Lamanya dampak akan terjadi selama
perusahaan masih beroperasi hingga pada tahap pasca operasi tambang.
(UPL 2008: IV-3)
Hasil analisa dalam laporan UPL dikatakan,
kegiatan tambang pasir besi PT. Selo Moro Banyu Arto berdampak negative
terhadap morfologi lahan karena dapat menimbulkan dampak turunan berupa
abrasi yang merugikan masyarakat. (UPL 2008: IV-4)
5. Menurunnya Kualitas Air
Kegiatan pertambangan dipastikan akan mengurangi kualitas air tanah
(sumur) dan kualitas air permukaan Danau Kembar dan Air Way Hawang
pengolaan pasir besi membutuhkan banyak air untuk diolah di Magnetic
Separator, yang menghasilkan pasir besi dan limbah dengan kapasitas air
225 m3/ jam. Limbah dari pengolaan ini tentu akan mempengaruhi kadar air
yang ada di sekitar pemukiman warga. Sumber negatif lainnya adalah
pengoperasian bengkel. Perawatan alat berat tambang pasir besi
dipastikan akan menghasilkan pelumas bekas sebanyak 58,49 liter per
hari. Sisa oli bekas ini jika tidak dikelola dengan baik akan dapat
mencemari danau kembar dan sumur warga, serta air laut di lingkungan
tambang. Hal ini terbukti dibanyak pertambangan yang dengan ceroboh
membuang begitu saja pelumas bekas mereka ke sungai atau berceceran di
tanah.
6. Kerusakan Jalan
Jalur angkut perusahaan
meliputi jalan Raya Desa Sukamenanti – Desa Way Hawang hingga Pelabuhan
Linau. Jalan ini merupakan jalan negara dengan spesifikasi III A atau
dapat dilalui kendaraan dengan muatan maksimal 8 ton. Pada tahap
pengoperasian tambang setiap hari direncanakan 1500 – 2000 ton pasir
besi diangkut menggunakan truck penganggkut dengan kapasitas 20 ton per
unit. Kondisi ini akan dapat merusak jalan di sepanjang route
pengangkutan sebab, maksimal berat jalan route tersebut adalah 10 ton.
7. Aspek biologi
Kegiatan penambangan dipastikan merubah tipe vegetasi seluas 46,03
hektar (total) dari vegetasi daratan seluas 16,02 hektar dan perairan
Danau Kembar seluas 30,01 hektar kehilangan vegetasi penutup dipastikan
akan menimbulkan abrasi. Disamping itu pendapatan masyarakat dari
berkebun, seperti kelapa, kelapa sawit, tanaman padi juga ikut hilang.
8. Biota Air
Dampak terhadap biota air merupakan dampak tak langsung akibat kegiatan
tambang pasir besi. Sumber dampak berasal dari perubahan kulitas air
akibat limbah pengolahan pasir. Sumber lainnya adalah karena tirisan
penumpukan pasir besi, air limbah bekas pelumas dari kegiatan bengkel.
Indeks keanekaragaman Danau Kembar akan menurun dari kondisi awal 0,8
s/d 2, 48 untuk plankton dan 1,90 s/d 2,98 untuk biota benthos. Kondisi
ini akan menurunkan jumlah ikan, udang, kepiting, yang merupakan mata
pencaharian tambahan bagi masyarakat selain bertani. Lama dampak
berlangsung selama 15 s/d 18 tahun.
9. Pendapatan Masyarakat
Perusahaan mengklaim aktifitas pertambangan mereka dapat merekrut
tenaga kerja dari warga lokal, selanjutnya masyarakat sekitar tambang
dapat membuka warung dan sebagainya. Namun, perlu diingat sedikit
sekali, jika tidak mau dikatakan tidak ada, warga setempat yang memiliki
keahlian di bidang pertambangan artinya, mereka akan dijadikan buruh
kasar saja, yang sewaktu-waktu dapat mereka PHK dengan beragam alasan.
Selain itu, proses ini akan membuat masyarakat meninggalkan profesi asal
mereka yang mungkin awalnya petani, nelayan, menjadi pekerja buruh di
perusahaan yang biasanya mereka tidak memiliki posisi tawar tinggi. Ini
banyak terjadi di pertambangan-pertambangan lain.
Reaksi air
asam tambang (Acid Mine Drainage/AMD) berdampak secara langsung terhadap
kualitas tanah dan air karena pH menurun sangat tajam. Menurunnya, pH
tanah akan mengganggu keseimbangan unsur hara pada lahan tersebut, unsur
hara makro menjadi tidak tersedia karena terikat oleh logam sedangkan
unsur hara mikro kelarutannya meningkat (Tan, 1993 dalam Widyati, 2010).
Menurut Hards and Higgins (2004) dalam Widyati (2010) turunnya pH
secara drastis akan meningkatkan kelarutan logam-logam berat pada
lingkungan tersebut.
Dampak yang dirasakan akibat AMD tersebut
bagi perusahaan adalah alat-alat yang terbuat dari besi atau baja
menjadi sangat cepat terkorosi sehingga menyebabkan inefisiensi baik
pada kegiatan pengadaan maupun pemeliharaan alat-alat berat. Terhadap
makhluk hidup, AMD dapat mengganggu kehidupan flora dan fauna pada lahan
bekas tambang maupun hidupan yang berada di sepanjang aliran sungai
yang terkena dampak dari aktivitas pertambangan. Hal ini menyebabkan
kegiatan revegetasi lahan bekas tambang menjadi sangat mahal dengan
hasil yang kurang memuaskan. Disamping itu, kualitas air yang ada dapat
mengganggu kesehatan manusia.
Luas permukaan daratan Indonesia
yang telah diijinkan untuk kegiatan pertambangan relatif kecil (1,336
juta ha atau 0,7% dari area daratan total), dan bahkan luas total areal
penambangan yang masih aktif dan yang sudah selesai ditambang lebih
kecil lagi (36.743 ha, atau 0,019% dari area daratan total) (Anonim,
2006). Sekalipun areal total yang terusik secara nasional relatif kecil,
kebanyakan kegiatan penambangan menerapkan teknik penambangan di
permukaan (surface mining) yang dengan sendirinya mengakibatkan usikan
terhadap lansekap setempat; areal areal vegetasi yang ada dan habitat
fauna menjadi rusak, dan pemindahan lapisan atas tanah yang menutupi
‘cadangan mineral menghasilkan’ perubahan yang tegas dalam topografi,
hidrologi, dan kestabilan lansekap. Apabila pengelolaan lingkungan tidak
efektif, pengaruh lokal (on-site) ini dapat mengakibatkan usikan
lanjutan di luar areal penambangan (off-site), yang bersumber dari erosi
air dan angin terhadap sisa galian yang belum terstabilkan atau bahan
sisa yang berasal dari pengolahan mineral. Pengaruh-pengaruh ini dapat
pula meliputi sedimentasi sungai-sungai, dan penurunan kualitas air
akibat meningkatnya salinitas, keasaman, dan muatan unsur-unsur beracun
dalam air sungai tersebut.
Definisi Bioremediasi
Bioremediasi merupakan penggunaan mikroorganisme untuk mengurangi
polutan di lingkungan. Saat bioremediasi terjadi, enzim-enzim yang
diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi polutan beracun dengan
mengubah struktur kimia polutan tersebut, sebuah peristiwa yang disebut
biotransformasi. Pada banyak kasus, biotransformasi berujung pada
biodegradasi, dimana polutan beracun terdegradasi, strukturnya menjadi
tidak kompleks, dan akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan
tidak beracun (Wikipedia, 2010).
Menurut Anonim (2010)
menyatakan bahwa bioremediasi adalah proses pembersihan pencemaran tanah
dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi
bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan
yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air).
Bioremediasi pada lahan terkontaminasi logam berat didefinisikan
sebagai proses membersihkan (clean up) lahan dari bahan-bahan pencemar
(pollutant) secara biologi atau dengan menggunakan organisme hidup, baik
mikroorganisme (mikrofauna dan mikroflora) maupun makroorganisme
(tumbuhan) (Onrizal, 2005).
Sejak tahun 1900an, orang-orang
sudah menggunakan mikroorganisme untuk mengolah air pada saluran air.
Saat ini, bioremediasi telah berkembang pada perawatan limbah buangan
yang berbahaya (senyawa-senyawa kimia yang sulit untuk didegradasi),
yang biasanya dihubungkan dengan kegiatan industri. Yang termasuk dalam
polutan-polutan ini antara lain logam-logam berat, petroleum
hidrokarbon, dan senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti
pestisida, herbisida, dan lain-lain. Banyak aplikasi-aplikasi baru
menggunakan mikroorganisme untuk mengurangi polutan yang sedang
diujicobakan. Bidang bioremediasi saat ini telah didukung oleh
pengetahuan yang lebih baik mengenai bagaimana polutan dapat didegradasi
oleh mikroorganisme, identifikasi jenis-jenis mikroba yang baru dan
bermanfaat, dan kemampuan untuk meningkatkan bioremediasi melalui
teknologi genetik. Teknologi genetik molekular sangat penting untuk
mengidentifikasi gen-gen yang mengkode enzim yang terkait pada
bioremediasi. Karakterisasi dari gen-gen yang bersangkutan dapat
meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana mikroba-mikroba
memodifikasi polutan beracun menjadi tidak berbahaya.
Strain
atau jenis mikroba rekombinan yang diciptakan di laboratorium dapat
lebih efisien dalam mengurangi polutan. Mikroorganisme rekombinan yang
diciptakan dan pertama kali dipatenkan adalah bakteri “pemakan minyak”.
Bakteri ini dapat mengoksidasi senyawa hidrokarbon yang umumnya
ditemukan pada minyak bumi. Bakteri tersebut tumbuh lebih cepat jika
dibandingkan bakteri-bakteri jenis lain yang alami atau bukan yang
diciptakan di laboratorium yang telah diujicobakan. Akan tetapi,
penemuan tersebut belum berhasil dikomersialkan karena strain rekombinan
ini hanya dapat mengurai komponen berbahaya dengan jumlah yang
terbatas. Strain inipun belum mampu untuk mendegradasi komponen-komponen
molekular yang lebih berat yang cenderung bertahan di lingkungan.
Jenis Bioremediasi
Jenis-jenis bioremediasi adalah sebagai berikut:
Biostimulasi
Nutrien dan oksigen, dalam bentuk cair atau gas, ditambahkan ke dalam
air atau tanah yang tercemar untuk memperkuat pertumbuhan dan aktivitas
bakteri remediasi yang telah ada di dalam air atau tanah tersebut.
Bioaugmentasi
Mikroorganisme yang dapat membantu membersihkan kontaminan tertentu
ditambahkan ke dalam air atau tanah yang tercemar. Cara ini yang paling
sering digunakan dalam menghilangkan kontaminasi di suatu tempat. Namun
ada beberapa hambatan yang ditemui ketika cara ini digunakan. Sangat
sulit untuk mengontrol kondisi situs yang tercemar agar mikroorganisme
dapat berkembang dengan optimal. Para ilmuwan belum sepenuhnya mengerti
seluruh mekanisme yang terkait dalam bioremediasi, dan mikroorganisme
yang dilepaskan ke lingkungan yang asing kemungkinan sulit untuk
beradaptasi.
Bioremediasi Intrinsik
Bioremediasi jenis ini terjadi secara alami di dalam air atau tanah yang tercemar.
Di masa yang akan datang, mikroorganisme rekombinan dapat menyediakan
cara yang efektif untuk mengurangi senyawa-senyawa kimiawi yang
berbahaya di lingkungan kita. Bagaimanapun, pendekatan itu membutuhkan
penelitian yang hati-hati berkaitan dengan mikroorganisme rekombinan
tersebut, apakah efektif dalam mengurangi polutan, dan apakah aman saat
mikroorganisme itu dilepaskan ke lingkungan.
Penanggulangan Acid Mine Drainage/AMD
Sudah banyak
teknologi yang ditujukan untuk menanggulangi acid mine drainage (AMD).
Teknologi yang diterapkan baik yang berdasarkan prinsip kimia maupun
biologi belum memberikan hasil yang dapat mengatasi AMD secara
menyeluruh. Teknik yang didasarkan atas prinsip-prinsip kimia, misalnya
pengapuran, meskipun memerlukan biaya yang mahal akan tetapi hasilnya
hanya dapat meningkatkan pH dan bersifat sementara. Teknik pembuatan
saluran anoksik (anoxic lime drain) yang menggabungkan antara prinsip
fisika dan kimia juga sangat mahal dan hasilnya belum menggembirakan.
Teknik bioremediasi dengan memanfaatkan bakteri pereduksi sulfat
memberikan hasil yang cukup menggembirakan. Hasil seleksi Widyati (2007)
dalam Widyati (2010) menunjukkan bahwa BPS dapat meningkatkan pH dari
2,8 menjadi 7,1 pada air asam tambang Galian Pit Timur dalam waktu 2
hari dan menurunkan Fe dan Mn dengan efisiensi > 80% dalam waktu 10
hari.
Namun demikian, penelitian-penelitian tersebut dilakukan
pada air sedangkan sumber-sumber yang menjadi pangkal terjadinya AMD
belum tersentuh. Hal yang sangat penting sesungguhnya adalah upaya
pencegahan terbentuknya AMD. Bagaimana mencegah kontak mineral sulfide
dengan oksigen dan menghambat pertumbuhan bakteri pengoksidasi sulfur
(BOS) adalah hal yang paling menentukan dalam menangani AMD. Bakteri ini
tergolong kemo-ototrof, sehingga penambahan bahan organik akan membunuh
mikrob tersebut. Bagaimana menyediakan bahan organik pada lahan yang
begitu luas? Penanaman lahan yang baik adalah jawaban yang tepat.
Bagaimana melakukan penanaman pada lahan yang begitu berat? Jawaban yang
tepat juga penambahan bahan organik. Sebab bahan organik dapat berperan
sebagai buffer sehingga dapat meningkatkan pH, sebagai sumber unsur
hara, dapat meningkatkan water holding capacity, meningkatkan KTK dan
dapat mengkelat logam-logam (Stevenson, 1997 dalam Widyati, 2010) yang
banyak terdapat pada lahan bekas tambang. Revegetasi pada lahan bekas
tambang yang berhasil dengan baik akan memasok bahan organik ke dalam
tanah baik melalui produksi serasah maupun eksudat akar.
2.2 Bakteri Thiobacillus Ferrooxidans Sebagai Penanganan Limbah Penambangan pasir besi
Kelompok bahan galian metalliferous antara lain adalah emas, besi,
tembaga, timbal, seng, timah, mangan. Sedangkan bahan galian
nonmetalliferous terdiri dari batubara, kwarsa, bauksit, trona, borak,
asbes, talk, feldspar dan batuan pospat. Bahan galian untuk bahan
bangunan dan batuan ornamen termasuk didalamnya slate, marmer, kapur,
traprock, travertine, dan granite.
Perkembangan teknologi
pengolahan menyebabkan ekstraksi bijih kadar rendah menjadi lebih
ekonomis, sehingga semakin luas dan dalam lapisan bumi yang harus di
gali. Hal ini menyebabkan kegiatan tambang menimbulkan dampak lingkungan
yang sangat besar dan bersifat penting.
Alternatif yang paling
aman dan ramah terhadap lingkungan untuk desulfurisasi pasir besi adalah
secara mikrobiologi menggunakan bakteri Thiobacillus ferrooxidans dan
Thiobacillus thiooxidans. Penggunaan kombinasi kedua bakteri ini
ditujukan untuk lebih mengoptimalkan desulfurisasi. Thiobacillus
ferooxidans memiliki kemampuan untuk mengoksidasi besi dan sulfur,
sedangkan Thiobacillus thiooxidans tidak mampu mengoksidasi sulfur
dengan sendirinya, namun tumbuh pada sulfur yang dilepaskan setelah besi
teroksidasi.
2.4 Pemanfaatan Sludge Untuk Memacu Revegetasi Lahan Pasca Tambang pasir besi
Umumnya, perusahaan tambang menggunakan top (tanah lapisan atas) atau
kompos untuk mengembalikan kesuburan tanah. Rata-rata dibutuhkan 5.000
ton per hektar kompos atau top soil. Metode konvensional ini kurang
tepat diterapkan pada bekas lahan tambang yang luas. Pemanfaatan sludge
limbah industri kertas bisa menjadi alternatif pilihan. Industri kertas
menghasilkan 10 persen sludge dari total pulp yang mengandung N dan P
(Anonim, 2006a).
Percobaan menunjukkan sludge paper dosis 50
persen dapat memperbaiki sifat-sifat tanah lebih efektif dibandingkan
perlakuan top soil. Sludge kertas ini berperan ganda dalam proses
bioremediasi tanah bekas tambang batubara yaitu sebagai sumber bahan
organik tanah (BOT) dan sumber inokulum bakteri pereduksi sulfat (BPS).
Pemberian sludge pada bekas tambang batubara menimbulkan 2 proses yakni
perbaikan lingkungan (soil amendment) dan inokulasi mikroba yang
efektif.
Pemberian sludge paper 50 persen ke dalam tanah bekas
tambang batubara mampu menurunkan ketersediaan Fe tanah 98.8 persen, Mn
48 persen, Zn 78 persen dan Cu 63 persen. BPS mampu mereduksi sulfat
menjadi senyawa sulfda-logam yang tidak tersedia.
2.5 Bioremediasi Tanah Tercemar
Pencemaran lingkungan tanah belakangan ini mendapat perhatian yang
cukup besar, karena globalisasi perdagangan menerapkan peraturan
ekolabel yang ketat. Sumber pencemar tanah umumnya adalah logam berat
dan senyawa aromatik beracun yang dihasilkan melalui kegiatan
pertambangan dan industri. Senyawa-senyawa ini umumnya bersifat
mutagenik dan karsinogenik yang sangat berbahaya bagi kesehatan (Joner
dan Leyval, 2001 dalam Madjid, 2009).
Bioremidiasi tanah
tercemar logam berat sudah banyak dilakukan dengan menggunakan bakteri
pereduksi logam berat sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa cendawan memiliki kontribusi
yang lebih besar dari bakteri, dan kontribusinya makin meningkat dengan
meningkatnya kadar logam berat (Fleibach, et al, 1994 dalam Madjid,
2009)..
Cendawan ektomikoriza dapat meningkatkan toleransi
tanaman terhadap logam beracun dengan melalui akumulasi logam-logam
dalam hifa ekstramatrik dan “extrahyphae slime” (Aggangan et al, 1997
dalam Madjid, 2009). sehingga mengurangi serapannya ke dalam tanaman
inang. Namun demikian, tidak semua mikoriza dapat meningkatkan toleransi
tanaman inang terhadap logam beracun, karena masing-masing mikoriza
memiliki pengaruh yang berbeda. Pemanfaatan cendawan mikoriza dalam
bioremidiasi tanah tercemar, disamping dengan akumulasi bahan tersebut
dalam hifa, juga dapat melalui mekanisme pengkomplekan logam tersebut
oleh sekresi hifa ekternal.
Polusi logam berat pada ekosistem
hutan sangat berpengaruh terhadap kesehatan tanaman hutan khususnya
perkembangan dan pertumbuhan bibit tanaman hutan (Khan, 1993 dalam
Madjid, 2009). Hal semacam ini sangat sering terjadi disekitar areal
pertambangan (tailing dan sekitarnya). Kontaminasi tanah dengan logam
berat akan meningkatkan kematian bibit dan menggagalkan prgram
reboisasi. Penelitian Aggangan et al (1997) dalam Madjid (2009) pada
tegakan Eucalyptus menunjukkan bahwa Ni lebih berbahaya dari Cr. Gejala
keracunan Ni tampak pada konsentrasi 80 umol/l pada tanah yang tidak
dinokulasi dengan mikoriza sedangkan tanah yang diinokulasi dengan
Pisolithus sp., gejala keracunan terjadi pada konsentrasi 160 umol/l.
Isolat Pisolithus yang diambil dari residu pertambangan Ni jauh lebih
tahan terhadap kadar Ni yang tinggi dibandingkan dengan Pisolithus yang
diambil dari tegakan Eucalyptus yang tidak tercemar logam berat.
Upaya bioremediasi lahan basah yang tercemar oleh limbah industri
(polutan organik, sedimen pH tinggi atau rendah pada jalur aliran maupun
kolam pengendapan) juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan tanaman
semi akuatik seperti Phragmites australis. Oliveira et al, 2001 dalam
Madjid, 2009) menunjukkan bahwa Phragmites australis dapat berasosiasi
dengan cendawan mikoriza melalui pengeringan secara gradual dalam jangka
waktu yang pendek. Hal ini dapat dijadikan strategi pengelolaan lahan
terpolusi (phytostabilisation) dengan meningkatkan laju perkembangan
spesies mikotropik. Penelitian Joner dan Leyval (2001) dalam Madjid
(2009) menunjukkan bahwa perlakuan mikoriza pada tanah yang tercemar
oleh polysiklik aromatic hydrocarbon (PAH) dari limbah industri
berpengaruh terhadap pertumbuhan clover, tapi tidak terhadap pertumbuhan
reygrass. Dengan mikoriza laju penurunan hasil clover karena PAH dapat
ditekan. Tapi bila penambahan mikoriza dibarengi dengan penambahan
surfaktan, zat yang melarutkan PAH, maka laju penurunan hasil clover
meningkat.
Tanaman yang tumbuh pada limbah pertambangan batubara
diteliti Rani et al (1991) dalam Madjid (2009) menunjukkan bahwa dari
18 spesies tanaman setempat yang diteliti, 12 diantaranya bermikoriza.
Tanaman yang berkembang dengan baik di lahan limbah batubara tersebut,
ditemukan adanya “oil droplets” dalam vesikel akar mikoriza. Hal ini
menunjukkan bahwa ada mekanisme filtrasi, sehingga bahan beracun
tersebut tidak sampai diserap oleh tanaman.
Mikoriza juga dapat
melindungi tanaman dari ekses unsur tertentu yang bersifat racun seperti
logam berat (Killham, 1994 dalam Madjid dan Novriani : 2009). Mekanisme
perlindungan terhadap logam berat dan unsur beracun yang diberikan
mikoriza dapat melalui efek filtrasi, menonaktifkan secara kimiawi atau
penimbunan unsur tersebut dalam hifa cendawan. Khan (1993) dalam Madjid
dan Novriani (2009) menyatakan bahwa vesikel arbuskular mikoriza (VAM)
dapat terjadi secara alami pada tanaman pioner di lahan buangan limbah
industri, tailing tambang batubara, atau lahan terpolusi lainnya.
Inokulasi dengan inokulan yang cocok dapat mempercepat usaha penghijauan
kembali tanah tercemar unsur toksik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar