Jumat, 20 November 2015

Ada efek buruk dari Pertambangan pasir besi

 
 
   Dampak Pertambangan Pasir Besi

Beberapa dampak negatif akibat pertambangan jika tidak terkendali antara lain sebagai berikut:

1). Kerusakan lahan bekas tambang.

2). Merusak lahan perkebunan dan pertanian.

3). Membuka kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan.

4). Dalam jangka panjang, pertambangan adalah penyumbang terbesar lahan sangat kritis yang susah dikembalikan lagi sesuai fungsi awalnya.

5). Pencemaran baik tanah, air maupun udara. Misalnya debu, gas beracun, bunyi dll.

6). Kerusakan tambak dan terumbu karang di pesisir.

7). Banjir, longsor, lenyapnya sebagian keanekaragaman hayati.

. Air tambang asam yang beracun yang jika dialirkan ke sungai yang akhirnya ke laut akan merusak ekosistem dan sumber daya pesisir dan laut.

9). Menyebabkan berbagai penyakit dan mengganggu kesehatan.

10). Sarana dan prasarana seperti jalan dll. rusak berat.

11). Dan lain-lain.

Mengapa bisa terjadi? Karena:

1). Adanya perbedaan kepentingan antara kepentingan lingkungan vs kepentingan ekonomi, politik dll.

2). Penegakkan hokum yang belum baik.

3). Aturan yang dibuat seringkali mengakomodasi beberapa kepentingan dengan bahkan mengabaikan unsur lingkungan.

4). Aturan yang tidak dilaksanakan dengan konsisten.

5). Dalam prakteknya otonomi daerah menyebabkan pertambangan maju pesat dan nyaris tidak terkendali. Banyak kasus di beberapa daerah justru terjadi konversi hutan lindung menjadi kawasan produksi. Illegal logging justru dilakukan oleh oknum-oknum yang seharusnya melindungi hutan.

Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kaur Nomor. 245 Tahun 2008 tanggal 15 September 2008, PT. Selomoro Banyu Arto memperoleh Kuasa Pertambangan eksplorasi pasir besi di Kecamatan Maje dengan kode wilayah KW. 08 PKR 004 dengan luas kuasa wilayah pertambangan eksplorasi pasir besi 179,36 Hektar.

Dampak penambangan pasir besi di Kecamatan Maje Kabupaten Kaur (Anonim 2011):

1. Menurunnya kualitas udara

Pada tahap prakonstruksi tambang akibat kegiatan mobilisasi alat berat diperkirakan perusahaan akan mengoperasikan 44 unit alat berat. Pada tahap ini aktifitas yang dilakukan meliputi pembersihan lahan, pembuatan jalan tambang , pembangunan sarana tambang, pembangunan pengelolaan instalasi pasir besi, dipastikan akan meningkatkan kadar debu di lingkungan sekitar. Intensitas ini dipastikan akan bertambah pada tahap operasi tambang akibat pengupasan tanah pucuk . perusahaan memasang target akan mengelola dan mengangkut 1500 s/d 2000 ton per hari dengan volume angkut 75 s/d 100 rit per hari. hal ini tentu akan meningkatkan sebaran debu di sekitar tambang dan akan mencapai ke pemukiman penduduk Desa Sukamenanti, Way Hawang dan Linau akibat angkutan pasir besi. Lamanya dampak debu ini diperkirakan oleh perusahaan selama 15 s/d 18 tahun (selama tambang masih aktif beroperasi) tingkat polusi debu akan semakin tinggi pada saat siang hari dimana angin bertiup dari laut ke arah daratan (pemukiman warga, Desa Sukamenanti dan Way Hawang) Hal ini tentu saja akan menurunkan tingkat kesehatan masyarakat, mereka terancam penyakit ISPA (Infeksi saluran Pernafasan Akut) TBC, dan lain-lain.

2. Kebisingan

Kegiatan tambang pasir besi pada tahap prakonstruksi berupa mobilisasi alat-alat berat berjumlah 44 unit. Dipastikan ini akan meningkatkan kebisingan di areal tambang dan pemukiman masyarakat di jalan Way Hawang Sukamenanti. Tingkat kebisingan akan semakin bertambah ketika operasional pertambangan mulai berjalan normal. Lama kebisingan berlangsung sebanyak 150 s/d 200 kali setiap hari sesuai volume yang direncanakan perusahaan sebanyak 1500 s/d 2000 ton per hari. Dengan volume angkut 75 s/d 100 rit per hari. Kondisi ini tentu akan mempengaruhi ketenangan warga pada saat tidur.

3. Perubahan Bentuk Danau Kembar

Sebagian wilayah penambangan merupakan perairan Sungai Air Numan (Danau Kembar) kondisi awal seluas 16,02 hektar dan daratan seluas 163,34 hektar. Kegiatan penggalian tentu saja akan memperluas bentuk dan struktur danau, diperkirakan akan meluas sebesar 28 hektar. Begitu juga dengan kedalaman, saat ini kedalaman danau berkisar 0,2 meter s/d 0,8 meter. Dengan adanya penggalian pasir besi dapat dipastikan kedalaman danau akan menjadi 7 hingga 8 meter. Hal ini sangat membahayakan warga, dan debit air akan mengalami perubahan struktur, ancaman terhadap kekeringan dan banjir yang mendadak akibat iklim yang tidak menentu, merupakan ancaman utama bagi warga.

4. Abrasi Pantai

Harus diakui aktifitas pertambangan juga akan mempengaruhi struktur pantai Way Hawang, ancaman akan meningkat khususnya pada saat air laut pasang dan gelombang besar serta tinggi akan membuat bentuk pantai berubah. Kondisi ini diakui oleh perusahaan sulit dipulihkan karena membutuhkan biaya besar. Masyarakat yang terkena dampak langsung adalah Desa Sukamenanti dan Desa Way Hawang. Lamanya dampak akan terjadi selama perusahaan masih beroperasi hingga pada tahap pasca operasi tambang. (UPL 2008: IV-3)

Hasil analisa dalam laporan UPL dikatakan, kegiatan tambang pasir besi PT. Selo Moro Banyu Arto berdampak negative terhadap morfologi lahan karena dapat menimbulkan dampak turunan berupa abrasi yang merugikan masyarakat. (UPL 2008: IV-4)

5. Menurunnya Kualitas Air

Kegiatan pertambangan dipastikan akan mengurangi kualitas air tanah (sumur) dan kualitas air permukaan Danau Kembar dan Air Way Hawang pengolaan pasir besi membutuhkan banyak air untuk diolah di Magnetic Separator, yang menghasilkan pasir besi dan limbah dengan kapasitas air 225 m3/ jam. Limbah dari pengolaan ini tentu akan mempengaruhi kadar air yang ada di sekitar pemukiman warga. Sumber negatif lainnya adalah pengoperasian bengkel. Perawatan alat berat tambang pasir besi dipastikan akan menghasilkan pelumas bekas sebanyak 58,49 liter per hari. Sisa oli bekas ini jika tidak dikelola dengan baik akan dapat mencemari danau kembar dan sumur warga, serta air laut di lingkungan tambang. Hal ini terbukti dibanyak pertambangan yang dengan ceroboh membuang begitu saja pelumas bekas mereka ke sungai atau berceceran di tanah.

6. Kerusakan Jalan

Jalur angkut perusahaan meliputi jalan Raya Desa Sukamenanti – Desa Way Hawang hingga Pelabuhan Linau. Jalan ini merupakan jalan negara dengan spesifikasi III A atau dapat dilalui kendaraan dengan muatan maksimal 8 ton. Pada tahap pengoperasian tambang setiap hari direncanakan 1500 – 2000 ton pasir besi diangkut menggunakan truck penganggkut dengan kapasitas 20 ton per unit. Kondisi ini akan dapat merusak jalan di sepanjang route pengangkutan sebab, maksimal berat jalan route tersebut adalah 10 ton.

7. Aspek biologi

Kegiatan penambangan dipastikan merubah tipe vegetasi seluas 46,03 hektar (total) dari vegetasi daratan seluas 16,02 hektar dan perairan Danau Kembar seluas 30,01 hektar kehilangan vegetasi penutup dipastikan akan menimbulkan abrasi. Disamping itu pendapatan masyarakat dari berkebun, seperti kelapa, kelapa sawit, tanaman padi juga ikut hilang.

8. Biota Air

Dampak terhadap biota air merupakan dampak tak langsung akibat kegiatan tambang pasir besi. Sumber dampak berasal dari perubahan kulitas air akibat limbah pengolahan pasir. Sumber lainnya adalah karena tirisan penumpukan pasir besi, air limbah bekas pelumas dari kegiatan bengkel. Indeks keanekaragaman Danau Kembar akan menurun dari kondisi awal 0,8 s/d 2, 48 untuk plankton dan 1,90 s/d 2,98 untuk biota benthos. Kondisi ini akan menurunkan jumlah ikan, udang, kepiting, yang merupakan mata pencaharian tambahan bagi masyarakat selain bertani. Lama dampak berlangsung selama 15 s/d 18 tahun.

9. Pendapatan Masyarakat

Perusahaan mengklaim aktifitas pertambangan mereka dapat merekrut tenaga kerja dari warga lokal, selanjutnya masyarakat sekitar tambang dapat membuka warung dan sebagainya. Namun, perlu diingat sedikit sekali, jika tidak mau dikatakan tidak ada, warga setempat yang memiliki keahlian di bidang pertambangan artinya, mereka akan dijadikan buruh kasar saja, yang sewaktu-waktu dapat mereka PHK dengan beragam alasan. Selain itu, proses ini akan membuat masyarakat meninggalkan profesi asal mereka yang mungkin awalnya petani, nelayan, menjadi pekerja buruh di perusahaan yang biasanya mereka tidak memiliki posisi tawar tinggi. Ini banyak terjadi di pertambangan-pertambangan lain.

Reaksi air asam tambang (Acid Mine Drainage/AMD) berdampak secara langsung terhadap kualitas tanah dan air karena pH menurun sangat tajam. Menurunnya, pH tanah akan mengganggu keseimbangan unsur hara pada lahan tersebut, unsur hara makro menjadi tidak tersedia karena terikat oleh logam sedangkan unsur hara mikro kelarutannya meningkat (Tan, 1993 dalam Widyati, 2010). Menurut Hards and Higgins (2004) dalam Widyati (2010) turunnya pH secara drastis akan meningkatkan kelarutan logam-logam berat pada lingkungan tersebut.

Dampak yang dirasakan akibat AMD tersebut bagi perusahaan adalah alat-alat yang terbuat dari besi atau baja menjadi sangat cepat terkorosi sehingga menyebabkan inefisiensi baik pada kegiatan pengadaan maupun pemeliharaan alat-alat berat. Terhadap makhluk hidup, AMD dapat mengganggu kehidupan flora dan fauna pada lahan bekas tambang maupun hidupan yang berada di sepanjang aliran sungai yang terkena dampak dari aktivitas pertambangan. Hal ini menyebabkan kegiatan revegetasi lahan bekas tambang menjadi sangat mahal dengan hasil yang kurang memuaskan. Disamping itu, kualitas air yang ada dapat mengganggu kesehatan manusia.

Luas permukaan daratan Indonesia yang telah diijinkan untuk kegiatan pertambangan relatif kecil (1,336 juta ha atau 0,7% dari area daratan total), dan bahkan luas total areal penambangan yang masih aktif dan yang sudah selesai ditambang lebih kecil lagi (36.743 ha, atau 0,019% dari area daratan total) (Anonim, 2006). Sekalipun areal total yang terusik secara nasional relatif kecil, kebanyakan kegiatan penambangan menerapkan teknik penambangan di permukaan (surface mining) yang dengan sendirinya mengakibatkan usikan terhadap lansekap setempat; areal areal vegetasi yang ada dan habitat fauna menjadi rusak, dan pemindahan lapisan atas tanah yang menutupi ‘cadangan mineral menghasilkan’ perubahan yang tegas dalam topografi, hidrologi, dan kestabilan lansekap. Apabila pengelolaan lingkungan tidak efektif, pengaruh lokal (on-site) ini dapat mengakibatkan usikan lanjutan di luar areal penambangan (off-site), yang bersumber dari erosi air dan angin terhadap sisa galian yang belum terstabilkan atau bahan sisa yang berasal dari pengolahan mineral. Pengaruh-pengaruh ini dapat pula meliputi sedimentasi sungai-sungai, dan penurunan kualitas air akibat meningkatnya salinitas, keasaman, dan muatan unsur-unsur beracun dalam air sungai tersebut.

  Definisi Bioremediasi

Bioremediasi merupakan penggunaan mikroorganisme untuk mengurangi polutan di lingkungan. Saat bioremediasi terjadi, enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi polutan beracun dengan mengubah struktur kimia polutan tersebut, sebuah peristiwa yang disebut biotransformasi. Pada banyak kasus, biotransformasi berujung pada biodegradasi, dimana polutan beracun terdegradasi, strukturnya menjadi tidak kompleks, dan akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun (Wikipedia, 2010).

Menurut Anonim (2010) menyatakan bahwa bioremediasi adalah proses pembersihan pencemaran tanah dengan menggunakan mikroorganisme (jamur, bakteri). Bioremediasi bertujuan untuk memecah atau mendegradasi zat pencemar menjadi bahan yang kurang beracun atau tidak beracun (karbon dioksida dan air).

Bioremediasi pada lahan terkontaminasi logam berat didefinisikan sebagai proses membersihkan (clean up) lahan dari bahan-bahan pencemar (pollutant) secara biologi atau dengan menggunakan organisme hidup, baik mikroorganisme (mikrofauna dan mikroflora) maupun makroorganisme (tumbuhan) (Onrizal, 2005).

Sejak tahun 1900an, orang-orang sudah menggunakan mikroorganisme untuk mengolah air pada saluran air. Saat ini, bioremediasi telah berkembang pada perawatan limbah buangan yang berbahaya (senyawa-senyawa kimia yang sulit untuk didegradasi), yang biasanya dihubungkan dengan kegiatan industri. Yang termasuk dalam polutan-polutan ini antara lain logam-logam berat, petroleum hidrokarbon, dan senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti pestisida, herbisida, dan lain-lain. Banyak aplikasi-aplikasi baru menggunakan mikroorganisme untuk mengurangi polutan yang sedang diujicobakan. Bidang bioremediasi saat ini telah didukung oleh pengetahuan yang lebih baik mengenai bagaimana polutan dapat didegradasi oleh mikroorganisme, identifikasi jenis-jenis mikroba yang baru dan bermanfaat, dan kemampuan untuk meningkatkan bioremediasi melalui teknologi genetik. Teknologi genetik molekular sangat penting untuk mengidentifikasi gen-gen yang mengkode enzim yang terkait pada bioremediasi. Karakterisasi dari gen-gen yang bersangkutan dapat meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana mikroba-mikroba memodifikasi polutan beracun menjadi tidak berbahaya.

Strain atau jenis mikroba rekombinan yang diciptakan di laboratorium dapat lebih efisien dalam mengurangi polutan. Mikroorganisme rekombinan yang diciptakan dan pertama kali dipatenkan adalah bakteri “pemakan minyak”. Bakteri ini dapat mengoksidasi senyawa hidrokarbon yang umumnya ditemukan pada minyak bumi. Bakteri tersebut tumbuh lebih cepat jika dibandingkan bakteri-bakteri jenis lain yang alami atau bukan yang diciptakan di laboratorium yang telah diujicobakan. Akan tetapi, penemuan tersebut belum berhasil dikomersialkan karena strain rekombinan ini hanya dapat mengurai komponen berbahaya dengan jumlah yang terbatas. Strain inipun belum mampu untuk mendegradasi komponen-komponen molekular yang lebih berat yang cenderung bertahan di lingkungan.

Jenis Bioremediasi

Jenis-jenis bioremediasi adalah sebagai berikut:

Biostimulasi

Nutrien dan oksigen, dalam bentuk cair atau gas, ditambahkan ke dalam air atau tanah yang tercemar untuk memperkuat pertumbuhan dan aktivitas bakteri remediasi yang telah ada di dalam air atau tanah tersebut.

Bioaugmentasi

Mikroorganisme yang dapat membantu membersihkan kontaminan tertentu ditambahkan ke dalam air atau tanah yang tercemar. Cara ini yang paling sering digunakan dalam menghilangkan kontaminasi di suatu tempat. Namun ada beberapa hambatan yang ditemui ketika cara ini digunakan. Sangat sulit untuk mengontrol kondisi situs yang tercemar agar mikroorganisme dapat berkembang dengan optimal. Para ilmuwan belum sepenuhnya mengerti seluruh mekanisme yang terkait dalam bioremediasi, dan mikroorganisme yang dilepaskan ke lingkungan yang asing kemungkinan sulit untuk beradaptasi.

Bioremediasi Intrinsik

Bioremediasi jenis ini terjadi secara alami di dalam air atau tanah yang tercemar.

Di masa yang akan datang, mikroorganisme rekombinan dapat menyediakan cara yang efektif untuk mengurangi senyawa-senyawa kimiawi yang berbahaya di lingkungan kita. Bagaimanapun, pendekatan itu membutuhkan penelitian yang hati-hati berkaitan dengan mikroorganisme rekombinan tersebut, apakah efektif dalam mengurangi polutan, dan apakah aman saat mikroorganisme itu dilepaskan ke lingkungan.
Penanggulangan Acid Mine Drainage/AMD

Sudah banyak teknologi yang ditujukan untuk menanggulangi acid mine drainage (AMD). Teknologi yang diterapkan baik yang berdasarkan prinsip kimia maupun biologi belum memberikan hasil yang dapat mengatasi AMD secara menyeluruh. Teknik yang didasarkan atas prinsip-prinsip kimia, misalnya pengapuran, meskipun memerlukan biaya yang mahal akan tetapi hasilnya hanya dapat meningkatkan pH dan bersifat sementara. Teknik pembuatan saluran anoksik (anoxic lime drain) yang menggabungkan antara prinsip fisika dan kimia juga sangat mahal dan hasilnya belum menggembirakan. Teknik bioremediasi dengan memanfaatkan bakteri pereduksi sulfat memberikan hasil yang cukup menggembirakan. Hasil seleksi Widyati (2007) dalam Widyati (2010) menunjukkan bahwa BPS dapat meningkatkan pH dari 2,8 menjadi 7,1 pada air asam tambang Galian Pit Timur dalam waktu 2 hari dan menurunkan Fe dan Mn dengan efisiensi > 80% dalam waktu 10 hari.

Namun demikian, penelitian-penelitian tersebut dilakukan pada air sedangkan sumber-sumber yang menjadi pangkal terjadinya AMD belum tersentuh. Hal yang sangat penting sesungguhnya adalah upaya pencegahan terbentuknya AMD. Bagaimana mencegah kontak mineral sulfide dengan oksigen dan menghambat pertumbuhan bakteri pengoksidasi sulfur (BOS) adalah hal yang paling menentukan dalam menangani AMD. Bakteri ini tergolong kemo-ototrof, sehingga penambahan bahan organik akan membunuh mikrob tersebut. Bagaimana menyediakan bahan organik pada lahan yang begitu luas? Penanaman lahan yang baik adalah jawaban yang tepat. Bagaimana melakukan penanaman pada lahan yang begitu berat? Jawaban yang tepat juga penambahan bahan organik. Sebab bahan organik dapat berperan sebagai buffer sehingga dapat meningkatkan pH, sebagai sumber unsur hara, dapat meningkatkan water holding capacity, meningkatkan KTK dan dapat mengkelat logam-logam (Stevenson, 1997 dalam Widyati, 2010) yang banyak terdapat pada lahan bekas tambang. Revegetasi pada lahan bekas tambang yang berhasil dengan baik akan memasok bahan organik ke dalam tanah baik melalui produksi serasah maupun eksudat akar.

2.2 Bakteri Thiobacillus Ferrooxidans Sebagai Penanganan Limbah Penambangan pasir besi

Kelompok bahan galian metalliferous antara lain adalah emas, besi, tembaga, timbal, seng, timah, mangan. Sedangkan bahan galian nonmetalliferous terdiri dari batubara, kwarsa, bauksit, trona, borak, asbes, talk, feldspar dan batuan pospat. Bahan galian untuk bahan bangunan dan batuan ornamen termasuk didalamnya slate, marmer, kapur, traprock, travertine, dan granite.

Perkembangan teknologi pengolahan menyebabkan ekstraksi bijih kadar rendah menjadi lebih ekonomis, sehingga semakin luas dan dalam lapisan bumi yang harus di gali. Hal ini menyebabkan kegiatan tambang menimbulkan dampak lingkungan yang sangat besar dan bersifat penting.

Alternatif yang paling aman dan ramah terhadap lingkungan untuk desulfurisasi pasir besi adalah secara mikrobiologi menggunakan bakteri Thiobacillus ferrooxidans dan Thiobacillus thiooxidans. Penggunaan kombinasi kedua bakteri ini ditujukan untuk lebih mengoptimalkan desulfurisasi. Thiobacillus ferooxidans memiliki kemampuan untuk mengoksidasi besi dan sulfur, sedangkan Thiobacillus thiooxidans tidak mampu mengoksidasi sulfur dengan sendirinya, namun tumbuh pada sulfur yang dilepaskan setelah besi teroksidasi.

2.4 Pemanfaatan Sludge Untuk Memacu Revegetasi Lahan Pasca Tambang pasir besi

Umumnya, perusahaan tambang menggunakan top (tanah lapisan atas) atau kompos untuk mengembalikan kesuburan tanah. Rata-rata dibutuhkan 5.000 ton per hektar kompos atau top soil. Metode konvensional ini kurang tepat diterapkan pada bekas lahan tambang yang luas. Pemanfaatan sludge limbah industri kertas bisa menjadi alternatif pilihan. Industri kertas menghasilkan 10 persen sludge dari total pulp yang mengandung N dan P (Anonim, 2006a).

Percobaan menunjukkan sludge paper dosis 50 persen dapat memperbaiki sifat-sifat tanah lebih efektif dibandingkan perlakuan top soil. Sludge kertas ini berperan ganda dalam proses bioremediasi tanah bekas tambang batubara yaitu sebagai sumber bahan organik tanah (BOT) dan sumber inokulum bakteri pereduksi sulfat (BPS). Pemberian sludge pada bekas tambang batubara menimbulkan 2 proses yakni perbaikan lingkungan (soil amendment) dan inokulasi mikroba yang efektif.

Pemberian sludge paper 50 persen ke dalam tanah bekas tambang batubara mampu menurunkan ketersediaan Fe tanah 98.8 persen, Mn 48 persen, Zn 78 persen dan Cu 63 persen. BPS mampu mereduksi sulfat menjadi senyawa sulfda-logam yang tidak tersedia.

2.5 Bioremediasi Tanah Tercemar

Pencemaran lingkungan tanah belakangan ini mendapat perhatian yang cukup besar, karena globalisasi perdagangan menerapkan peraturan ekolabel yang ketat. Sumber pencemar tanah umumnya adalah logam berat dan senyawa aromatik beracun yang dihasilkan melalui kegiatan pertambangan dan industri. Senyawa-senyawa ini umumnya bersifat mutagenik dan karsinogenik yang sangat berbahaya bagi kesehatan (Joner dan Leyval, 2001 dalam Madjid, 2009).

Bioremidiasi tanah tercemar logam berat sudah banyak dilakukan dengan menggunakan bakteri pereduksi logam berat sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa cendawan memiliki kontribusi yang lebih besar dari bakteri, dan kontribusinya makin meningkat dengan meningkatnya kadar logam berat (Fleibach, et al, 1994 dalam Madjid, 2009)..

Cendawan ektomikoriza dapat meningkatkan toleransi tanaman terhadap logam beracun dengan melalui akumulasi logam-logam dalam hifa ekstramatrik dan “extrahyphae slime” (Aggangan et al, 1997 dalam Madjid, 2009). sehingga mengurangi serapannya ke dalam tanaman inang. Namun demikian, tidak semua mikoriza dapat meningkatkan toleransi tanaman inang terhadap logam beracun, karena masing-masing mikoriza memiliki pengaruh yang berbeda. Pemanfaatan cendawan mikoriza dalam bioremidiasi tanah tercemar, disamping dengan akumulasi bahan tersebut dalam hifa, juga dapat melalui mekanisme pengkomplekan logam tersebut oleh sekresi hifa ekternal.

Polusi logam berat pada ekosistem hutan sangat berpengaruh terhadap kesehatan tanaman hutan khususnya perkembangan dan pertumbuhan bibit tanaman hutan (Khan, 1993 dalam Madjid, 2009). Hal semacam ini sangat sering terjadi disekitar areal pertambangan (tailing dan sekitarnya). Kontaminasi tanah dengan logam berat akan meningkatkan kematian bibit dan menggagalkan prgram reboisasi. Penelitian Aggangan et al (1997) dalam Madjid (2009) pada tegakan Eucalyptus menunjukkan bahwa Ni lebih berbahaya dari Cr. Gejala keracunan Ni tampak pada konsentrasi 80 umol/l pada tanah yang tidak dinokulasi dengan mikoriza sedangkan tanah yang diinokulasi dengan Pisolithus sp., gejala keracunan terjadi pada konsentrasi 160 umol/l. Isolat Pisolithus yang diambil dari residu pertambangan Ni jauh lebih tahan terhadap kadar Ni yang tinggi dibandingkan dengan Pisolithus yang diambil dari tegakan Eucalyptus yang tidak tercemar logam berat.

Upaya bioremediasi lahan basah yang tercemar oleh limbah industri (polutan organik, sedimen pH tinggi atau rendah pada jalur aliran maupun kolam pengendapan) juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan tanaman semi akuatik seperti Phragmites australis. Oliveira et al, 2001 dalam Madjid, 2009) menunjukkan bahwa Phragmites australis dapat berasosiasi dengan cendawan mikoriza melalui pengeringan secara gradual dalam jangka waktu yang pendek. Hal ini dapat dijadikan strategi pengelolaan lahan terpolusi (phytostabilisation) dengan meningkatkan laju perkembangan spesies mikotropik. Penelitian Joner dan Leyval (2001) dalam Madjid (2009) menunjukkan bahwa perlakuan mikoriza pada tanah yang tercemar oleh polysiklik aromatic hydrocarbon (PAH) dari limbah industri berpengaruh terhadap pertumbuhan clover, tapi tidak terhadap pertumbuhan reygrass. Dengan mikoriza laju penurunan hasil clover karena PAH dapat ditekan. Tapi bila penambahan mikoriza dibarengi dengan penambahan surfaktan, zat yang melarutkan PAH, maka laju penurunan hasil clover meningkat.

Tanaman yang tumbuh pada limbah pertambangan batubara diteliti Rani et al (1991) dalam Madjid (2009) menunjukkan bahwa dari 18 spesies tanaman setempat yang diteliti, 12 diantaranya bermikoriza. Tanaman yang berkembang dengan baik di lahan limbah batubara tersebut, ditemukan adanya “oil droplets” dalam vesikel akar mikoriza. Hal ini menunjukkan bahwa ada mekanisme filtrasi, sehingga bahan beracun tersebut tidak sampai diserap oleh tanaman.

Mikoriza juga dapat melindungi tanaman dari ekses unsur tertentu yang bersifat racun seperti logam berat (Killham, 1994 dalam Madjid dan Novriani : 2009). Mekanisme perlindungan terhadap logam berat dan unsur beracun yang diberikan mikoriza dapat melalui efek filtrasi, menonaktifkan secara kimiawi atau penimbunan unsur tersebut dalam hifa cendawan. Khan (1993) dalam Madjid dan Novriani (2009) menyatakan bahwa vesikel arbuskular mikoriza (VAM) dapat terjadi secara alami pada tanaman pioner di lahan buangan limbah industri, tailing tambang batubara, atau lahan terpolusi lainnya. Inokulasi dengan inokulan yang cocok dapat mempercepat usaha penghijauan kembali tanah tercemar unsur toksik.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar